SOTIS #6
SEKOLAH ORANGTUA IMAM SYAFI’I
Oleh: Abdul Kholiq
Bahasa cinta adalah cara mengungkapkan perasaan cinta seseorang kepada orang lain, sehingga membuat orang lain merasa dicintai.
Jika seseorang mengekspresikan perasaan cintanya kepada orang lain, namun orang lain tersebut merasa tidak dicintai, maka ekspresi tersebut bukanlah bahasa cinta.
Seorang istri akan merasa dicintai suaminya, jika sang suami dalam mengungkapkan cintanya menggunakan bahasa cinta istrinya.
Seorang anak akan merasa dicintai orangtuanya, jika orangtua menggunakan bahasa cinta anaknya.
seorang murid akan merasakan kasih sayang gurunya, jika guru menggunakan bahasa cinta muridnya.
Kerenggangan hubungan antar suami istri, anak dan orangtuanya, atau kegagalan hubungan seseorang dengan orang lain, …
seringkali diawali oleh keringnya hubungan cinta diantara mereka.
Kekeringan ini bukan disebabkan karena mereka tidak saling mencintai, …
tetapi karena mereka dalam mengkomunikasikan cintanya menggunakan “bahasa” yang berbeda, sehingga pasangannya merasa tidak dicintai.
Bahasa yang bukan bahasa cinta pasangannya inilah yang menyebabkan informasi cinta tidak sampai kepada penerima cinta.
Hal ini juga dapat terjadi pada guru kepada murid, pimpinan kepada karyawan, dan sebagainya.
Setiap orang membutuhkan cinta(1). Kebutuhan akan cinta tersebut secara sederhana dapat dinamakan dengan “tangki cinta”. Apabila tangki cinta seseorang penuh, maka cintanya akan membuncah dan dia akan merasa mantap dalam mencintai orang lain. Seluruh dunia akan tampak cerah dan indah di matanya dan akan lebih bersemangat, ceria, optimis, berpikir positif dalam aktifitas kehidupannya.
Sebaliknya, jika tangki cinta seseorang telah kering, ia akan menjadi orang yang mudah berpikiran negatif dan mudah terbakar emosinya, sehingga muncul problematika rumah tangga, anak-anak nakal, pecandu narkoba, kriminalitas remaja, dan berbagai masalah sosial lainnya.
Untuk mengisi tangki cinta tersebut, seseorang harus mengetahui bahasa cinta orang yang dicintainya, karena melalui bahasa cinta yang tepat, tangki cinta akan dengan mudah terisi penuh dengan emosional cinta, sehingga dalam hubungan seseorang dengan lainnya akan merasa dicintai dan mencintai.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seringkali menggunakan bahasa cinta dalam bergaul dengan orang lain. Kadang ketika berinteraksi dengan istri beliau, ketika ingin mengajarkan ilmu kepada orang lain, kepada seorang anak, sahabat, dan sebagainya.
Setiap orang memiliki bahasa cinta sendiri-sendiri yang unik, yang merupakan fitrah bawaan sejak lahir.
Dengan menggunakan bahasa cinta tersebut, maka akan lebih mudah dalam proses mendidik anak, menjalin relasi kerja, menjalin keharmonisan rumah tangga, kekeluargaan, dan lainnya.
Setidaknya terdapat lima jenis* bahasa cinta yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berhubungan kepada manusia. Adapun kelima bahasa cinta tersebut antara lain ungkapan lisan, hadiah, pelayanan, kebersamaan, dan sentuhan fisik.
1.) Ungkapan lisan
Ungkapan lisan adalah salah satu dari lima bahasa cinta yang paling mendasar. orang yang bahasa cinta dominannya adalah “ungkapan lisan” umumnya sangat peka dengan kata-kata dari orang lain, seperti bisikan sayang secara langsung(2), panggilan kesayangan(3), kata-kata pujian(4), kata-kata motivasi, dan bahasa lisan lainnya. Hal tersebut akan menjadikan tangki cintanya mudah terpenuhi.
Namun sebaliknya, kritik, sindiran, bahkan caci-maki akan membuat hatinya terasa tertikam pisau yang tajam. Dia bisa down, stress, bahkan depresi. Ini yang membuat isi tangki cinta terkuras habis dan akan mengering.
2.)Hadiah
Bagi orang yang bahasa cintanya adalah “hadiah”, sebuah barang pemberian dari orang yang ia cintai bisa dipahami sebagai sebuah ungkapan, misalnya “Aku memikirkanmu, Aku peduli kepadamu, Aku menyayangimu, dll”. Dengan hadiah ini cinta akan muncul kembali kepada pemberi hadiah tersebut(5).
Orang yang memiliki bahasa cinta ini tidak mementingkan nilai nominal sebuah pemberian. Dia lebih menimbang pada makna yang dikandung oleh benda tersebut dan juga momen saat hadiah itu diberikan kepadanya. Dia sangat sensitif dengan pemberian dari orang lain. Sebuah hadiah yang mahal tak ada artinya baginya jika diberikan tanpa ada makna atau sebaliknya ada maksud tertentu yang melecehkan atau merendahkan dirinya.
Orang yang bahasa cintanya hadiah, di dalam kamarnya biasanya terpajang berbagai souvenir, kado, maupun benda-benda unik lain yang pernah diterimanya dari sanak-saudara, sahabat, dan terutama mereka yang istimewa di hatinya.
3.)Pelayanan
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kadang dalam mengungkapkan kasih sayang kepada istri beliau dengan cara memberikan pelayanan(6). Hal ini akan menambah kasih sayang antara beliau dan istri-istri beliau. Pelayanan ini dapat berupa mengambilkan minuman atau makanan, membantu pekerjaan rumah, membetulkan barang-barang di rumah yang rusak, dll.
4.)Kebersamaan
Kebersamaan berarti perhatian dari dua pihak yang terpusatkan. Kadang tidak membutuhkan kata-kata dalam kebersamaan mereka. Kebersamaan ini dapat berupa memasak bersama, beres-beres rumah bersama, bercanda, ngobrol, jalan bareng, dsb.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menguatkan kasih sayang beliau sering meluangkan waktu untuk membersamai(7) istri-istri beliau, bermain dengan anak-anak, membonceng seorang sahabat, atau duduk-duduk dengan sahabat-sahabat lainnya.
5.)Sentuhan fisik
Orang yang bahasa cintanya adalah “sentuhan fisik” akan merasa dicintai jika disentuh badannya. Jika dia wanita, dia senang sekali menggandeng tangan, memeluk, atau bahkan mencubiti sahabatnya sebagai ekspresi keakraban; sedangkan bagi pria, dia suka bersalaman, menepuk pundak, merangkul, memukul bahu, dan sebagainya. Sebaliknya, penolakan fisik berupa menepis, mendorong atau bahkan menampar akan terasa sangat melukai hatinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kadangkala melakukan sentuhan fisik(8) untuk mempererat jalinan kasih sayang seperti memegang pundak sahabat, mencium istri, menggendong anak, memegang tangan, dll
#Mendidikdengancinta
Catatan kaki:
(1) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه
“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)
(2) Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:
أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم فمر به رجل فقال: يا رسول الله إني لأحب هذا، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أعلمته؟ قال: لا، قال: أعلمه، قال: فلحقه فقال: إني أحبك في الله، فقال: أحبك الذي أحببتني له
“Bahwasanya ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”. Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya)”
(3) Dari ‘Aisyah, ia berkata,
دَخَلَ الحَبَشَةُ المسْجِدَ يَلْعَبُوْنَ فَقَالَ لِي يَا حُمَيْرَاء أَتُحِبِّيْنَ أَنْ تَنْظُرِي
“Orang-orang Habasyah (Ethiopia) pernah masuk ke dalam masjid untuk bermain, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilku, “Wahai Humaira (artinya: yang pipinya kemerah-merahan), apakah engkau ingin melihat mereka?” (HR. An Nasai dalam Al Kubro 5: 307).
(4) Terdapat suatu riwayat ; Beliau bertanya kepada keluarganya tentang lauk yang tersedia. Keluarga beliau menjawab:
مَا عِنْدَنَا إِلَّا خَلٌّ فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ وَيَقُولُ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الْأُدُمُ الْخَلُّ
_“Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali cuka,” maka beliau meminta untuk disediakan dan mulai menyantapnya. Lantas bersabda:
“Sebaik-baik lauk adalah cuka. Sebaik-baik lauk adalah cuka”. [HR Muslim]._
(5) Aisyah radhiyallahu ‘anha menyatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menerima hadiah dan biasa pula membalasnya.” (HR. Bukhari, no. 2585)
Hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrod, no. 594)
(6) “Bahwasanya Rasulullah duduk di sisi unta beliau. Kemudian Beliau meletakan lututnya, lalu istri beliau Shafiyah meletakkan kakinya di atas lutut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga ia naik ke unta.”(HR. Al Bukhari dan Muslim)
Hadits lain tentang pelayanan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada keluarga beliau,
عَنِ الأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصْنَعُ فِى أَهْلِهِ قَالَتْ كَانَ فِى مِهْنَةِ أَهْلِهِ ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ
Dari Al-Aswad, ia bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika berada di tengah keluarganya?” ‘Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membantu pekerjaan keluarganya di rumah. Jika telah tiba waktu shalat, beliau berdiri dan segera menuju shalat.” (HR. Bukhari, no. 6039)
(7) Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, menceritakan pengalamannya dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menginap di rumah bibinya, Maimunah, yang merupakan salah satu istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seusai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat isya, beliau pulang ke rumahnya Maimunah, lalu shalat 4 rakaat. Kemudian beliau berbincang-bincang dengan istrinya.
Dalam hadits yang lain Aisyah berkata, “adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak ke luar kota, beliau mengundi diantara istri-istrinya. Maka jatuhlah undian pada Aisyah dan Hafsah. Kemudian keduanya ke luar dengan beliau bersama-sama. Dan Rasulullah apabila datang waktu malam, beliau berjalan bersama Aisyah dan berbincang-bincang dengannya”. (H.R Bukhori)
Hadits yang lain lagi Aisyah berkata : “Pernah aku minum, sedangkan aku pada saat itu sedang haid. Kemudian aku memberikan minuman tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari bejana yang sama, dimana beliau menempelkan mulutnya persis ditempat bekas aku minum, lalu beliau minum…” (H.R. Muslim)
(8)
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَبَّلَ امْرَأَةً مِنْ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
_”Dari Urwah dari Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium salah seorang istrinya kemudian keluar untuk shalat dan beliau tidak berwudhu”. (HR Abu Dawud No. 179, At-Tirmidzi No. 86, Ibnu Majah No. 502, Ahmad VI/210 No. 25807)