Cuplikan Kisah Seputar Mendidik Anak
Pergi Dari Rumah Untuk Membangun Rumah
Ternyata 14 tahun itu begitu singkat. Baru saja kami melepas pemuda kami yang genap berusia 14 tahun untuk kembali pergi menuntut ilmu dalam meraih cita-citanya. Dalam grand design kurikulum sekolah rumah kami, kami memiliki target bahwa di usia 14 tahun, anak-anak telah membulatkan tekad mereka untuk memilih peran kekhalifahan yang lebih spesifik di muka bumi. Sehingga jelas, kemana mereka harus menuntut ilmu, kepada siapa mereka harus berguru, serta hal apa yang harus mereka rintis. Agak mendadak sebenarnya keputusan yang ia buat untuk “pergi” dari rumah. Ia yang bercita-cita menjadi ahli tafsir dan ilmuwan sains dalam bidang Marine Biology, sebenarnya saat itu tengah berjuang mempersiapkan ujian Cambridge. Diskusi-diskusi panjang yang kami bangun sejak ia berusia 10 tahun, serangkaian psikotes yang dijalani, serta pembicaraan yang lebih detail tentang rencana masa depan yang kami bicarakan selepas ia menghafal 30 juz Al-Quran, telah mengerucutkan rencana-rencana pendidikan dalam beberapa tahun kedepan. Sebuah nama universitas di negeri kangguru telah ada dalam benaknya. Berbagai persyaratan pun dibaca, sehingga jelas pada mata pelajaran apa saat ini ia harus belajar mendalam. Berbagai komunikasi dengan beberapa pihak calon maestro pun sudah mulai saya bangun. Karena dalam kurikulum keluarga kami, di usia ini anak-anak sudah mulai mengumpulkan fortofolio hidup mereka dengan belajar melalui magang, atau merintis usaha yang berkaitan dengan cita-cita mereka kelak. Ali pun tengah aktif membantu kami pada beberapa unit usaha kami yang kami bangun sebagai inkubator bisnis bagi anak-anak.
Namun Allah berkehendak lain. Allah memiliki rencana terbaik yang kadang berbeda dengan rencana manusia. Kesempatan untuk mempersiapkan diri mengambil kuliah syariah ternyata datang lebih dulu dari semua itu.
Ummi: “Ali, ummi mau tanya, Ali mau mempersiapkan kuliah ke Australia dulu atau kuliah syariah?”
Ali: “Apa aja lah mi yang datang duluan”
Ummi: “Kalau begitu yang datang duluan yang ini”
Saya pun menyerahkan sebuah tulisan dalam handphone untuk ia baca.
Ummi: “Aa mau? kalau Aa mau, mereka memperbolehkan Aa menuntut ilmu disana meski saat ini Aa belum memiliki ijazah. Aa coba saja datang dulu kesana nak. Insya Allah seseorang itu akan dimudahkan Allah sesuai dengan takdir hidupnya. Kalau jalannya memang harus kesana, ummi sama bapak mendukung saja”
Lalu ia pun melihat tulisan pada kolom biaya (heheheh)
Ali: “Tapi mi, uangnya?’
Ummi: “Insya Allah, kalo sudah rezeki, uang bisa dicari”
Ali: “Oke mi, Ali mau”
Proses itu secepat kilat dan begitu mudah. Selang beberapa hari saja ia telah resmi menjadi santri dalam sebuah lembaga pendidikan berbasis Al-Quran setara SMA. Sebagai manager pendidikan anak-anak, kami pun ikut mengalir mengikuti arus takdir Allah tentang apa yang terbaik bagi anak-anak kami. Ali yang bercita-cita mengambil kuliah jurusan tafsir Al-Quran di Universitas Madinah harus kembali pergi dari rumah untuk menyiapkan bekal ilmu meraih cita-citanya. Malam itu ia sedang menyiapkan pakaian dan semua perlengkapan untuk menuntut ilmu. Tiba-tiba ia menghampiri saya yang sedang membaca buku sambil menyusui. Dengan terbata-bata ia berkata,
Ali: “Ummi, I just realize that this home is not my home anymore. When I come here, maybe just for a few days. Aa baru sadar bahwa Aa bakal pergi lama, setelah ini Aa pun akan pergi kuliah”
Mendengar ia berbicara sambil menahan tangis, saya pun menguatkan diri untuk tidak meneteskan air mata.
Ummi: “Ali, pergilah dari rumah untuk membangun rumah, nak! Sebuah rumah di surga. Semoga kelak kita bisa berkumpul lagi disana”
Ia pun kemudian memeluk saya lalu kembali ke kamarnya mengemas semua keperluannya. Setelah saya selesai menyusui, saya merasa pembicaraan kami masih menggantung. Saya perlu menguatkan dirinya untuk tidak lagi ragu melangkah. Saya temui ia di dalam kamar yang tengah meneteskan air mata di atas bantalnya.
Ummi: “Ali, majulah, nak! jangan ragu dan jangan mundur lagi. Menurut ummi, kemudahan ini sudah Allah datangkan untuk Aa. Kita sudah membangun diskusi panjang akhir-akhir ini tentang cita-cita. Sekarang saatnya Aa pergi mengejar cita-cita. Pergilah, nak! tinggalkan rumah untuk membangun sebuah rumah. Sebuah rumah yang tak akan adalagi perselisihan diantara kita, tidak akan ada kemarahan, kekasalan apalagi pertengkaran”
Lalu ia pun memeluk saya dengan erat, dan tumpah ruah air mata kami mengalir bersama.
Ali: Ummi, maafkan Aa. Maafkan kesalahan Aa ya”
Ummi: “Iya nak, ummi pun minta maaf atas kesalahan ummi selama ini sama Aa. Ayo nak jangan ragu! Ibumu telah terlahir kedunia ini hanya untuk melahirkan kamu. lalu beliau meninggal setelah melahirkanmu. Pasti Allah memiliki maksud tertentu. Lalu kemudian Allah datangkan ummi dalam kehidupan kamu yang ternyata begitu singkat saja. Pasti Allah punya maksud tertentu. Ternyata hanya 10 tahun saja ummi mendampingi kamu, tapi ummi berharap waktu pertemuan kita yang singkat ini sangat berarti dalam hidup kamu”
Ali: “Insya Allah, ummi. sangat, ummi”
Ummi: “Ayo nak, jangan ragu! pergilah dan pulanglah kembali saat kelak Aa bisa membuktikan salah satu kebenaran Al-Quran dengan ilmu sains yang Aa miliki. Ummi berdoa agar dengannya orang-orang kafir berbondong-bondong masuk islam melalui pembuktian itu. Jika Aa tidak menemui ummi lagi di rumah ini maka Aa bawa saja saat berziarah ke kuburan ummi”
Lalu tangisannya pun semakin keras.
Ummi: “Ummi pun baru sadar, bahwa ternyata 14 tahun itu begitu singkat sekali, nak. Semua anak akan pergi meraih cita-cita mereka. Seperti bapak dan ibumu dulu pergi meninggalkan rumah ke kota Batam. Juga ummi pun pergi meninggalkan rumah dan berkeluarga. Semua orang akan pergi dari rumahnya dan pada akhirnya memiliki kehidupan sendiri-sendiri”
Ali: “Oh ya, mamah Dea juga pergi ke Batam, mi?”
Ummi: “Ya, beliau sakit disana, diurus sendirian oleh bapak. Lalu kemudian pulang ke Bandung saat sudah semakin parah”
Ali: “Jadi mi, sekarang Aa pergi, lalu kemudian teteh pergi, Shiddiq pergi dan semua pergi. Jadi ummi kebali sendiri dong di rumah ini cuma sama bapak”
Ummi: “Ya nak, kehidupan memang begitu, seperti hari ini aki dan nin hanya tinggal berdua karena semua anak telah memiliki keluarga. Kelak kita semua juga akan sendirian di Alam kubur. Tapi yang penting kita memiliki ikatan cinta dan cita-cita. Maka meski kita berpisah ingatlah satu, A! Bahwa kita sedang membangun sebuah rumah untuk kembali kelak berkumpul bersama. Sebuah rumah yang abadi di surga, dan setelah itu kita tidak berpisah lagi”
Pelukan pun semakin erat, air mata pun semakin membanjiri pipi kami.
Ummi: “Ayo nak, jangan ragu! di atas usia 14 tahun, kapasitas ummi dan bapak sudah tidak cukup lagi untuk menjadi guru bagi Aa. Kita sudah membutuhkan sentuhan-sentuhan para ulama dan maestro lain untuk mendidik Aa. Dah sekarang Aa bobo ya, besok pagi sekali kita harus pergi”
Sahabat, ternyata full time parenting itu begitu singkat. Tetapi masa singkat itu adalah fondasi yang utama. Itu adalah masa mengenalkan anak kepada Tuhannya sehingga ia mengerti apa yang diinginkan Sang Penciptanya terhadap dirinya. Itu adalah masa mengenalkan anak kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam sehingga ia tau bagaimana mengejawantahkan keinginan Tuhannya terhadap dirinya sepanjang hidup di dunia. Itu adalah masa menyiapkan seorang anak menjadi seorang mukallaf ketika akil baligh tiba. Itu adalah masa membangun konsep diri dan konsep hidup seorang anak yang akan mewarnai kehidupannya. Itu adalah masa mengantarkan anak sampai memahami tujuan hidupnya, tujuan penciptaan dirinya, serta membangun cinta-cita masa depannya. Itu adalah masa inkubator bagi seorang anak sebelum ia terjun langsung dalam kehidupan nyata. Itu adalah masa membangun imunitas diri dalam seorang anak sampai ia mampu membedakan jalan fujur dan jalan taqwa. Itu adalah masa merawat dan menjaga fitrah kebaikan dalam diri seorang manusia agar sepanjang hidupnya ia senantiasa mencintai dan memilih kebiakan. Itu adalah masa membangun kepribadian manusia pembelajar dalam dirinya sehingga apapun cita-cita dan tujuan hidunya, ia akan senantiasa belajar dengan penuh semangat dalam meraihnya. Itu adalah masa melatih kemadirian dan kecakapan hidup serta kemampuan dalam memecahkan persoalan sebagai bekal dalam menyusuri kehidupannya.Itu adalah masa mengenal potensi bawaan yang Allah ciptakan khusus pada dirinya, sehingga kita dapat membimbing dan mengantarkan dirinya menuju panggilan hidupnya. Waktu itu begitu singkat. Kita akan begitu menyesal bila melewatinya tanpa keseriusan saat satu per satu mereka pergi meninggalkan rumah kita untuk meraih mimpi mereka. Kerepotan mengasuh itu ternyata tak lama. Yang lama adalah hasil panen yang akan kita petik di masa kerepotan itu. Full time parenting itu ternyata begitu singkat. Setelah itu kita hanya menjadi penasihat pribadi mereka sepanjang masa. Maka lewatilah masa ini dengan penuh keseriusan, dan kelak akan tiba masanya kita bisa serius untuk kembali mengejar mimpi pribadi kita dan secara serius mempersiapkan kematian terbaik kita.
Batujajar, Jawa Barat
Dari yang akan ditinggalkan dan meninggalkan
Kiki Barkiah