Oleh:
Ustadz Abdul Kholiq
Sekolah Karakter Imam Syafi’i (SKIS)
Semarang
Yang dimaksud dengan salah kaprah adalah kesalahan yang umum sekali sehingga orang tidak merasakan sebagai kesalahan.
Terdapat beberapa salah kaprah dalam pendidikan negeri tercinta ini, baik berupa pandangan atau tindakan yang sudah umum terjadi dan dimaklumi di masyarakat, namun sejatinya hal tersebut tidak dibenarkan jika disandarkan dengan hakikat pendidikan yang sebenarnya.
SALAH KAPRAH #1:
1. Orangtua cenderungan dan didorong untuk memasrahkan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada lembaga pendidikan tertentu.
Hal ini dapat diperhatikan pada keumuman yang terjadi pada akhir-akhir ini, antara lain:
a. Orangtua sibuk sekali dan terkonsentrasi dalam mencarikan sekolah yang tepat bagi anaknya, bahkan para penyelenggara sekolah pun ada yang menyekolahkan anaknya ke sekolah lain, padahal punya sekolah sendiri, bahkan mengajar pada sekolah tersebut. Hal ini terjadi karena adanya persepsi bahwa:
- Orangtua merasa tidak mampu mendidik anaknya sendiri.
- Seolah yang mampu mendidik anak hanyalah lembaga pendidikan saja.
- Jika ada anak tidak disekolahkan, maka orangtua anak tersebut dianggap tidak mendidik anaknya.
b. Peran orangtua dalam pendidikan anak di sekolah sangat kurang. Peran orangtua masih sebatas mencarikan biaya pendidikan, menyuruh mengerjakan tugas sekolah, dan memfasilitasi berangkat dan pulangnya anak ke dan dari sekolah.
c. Orangtua tidak banyak ikut andil dalam merencanakan kurikulum pendidikan anaknya, pasrah dan yakin begitu saja dengan kurikulum yang telah ditetapkan oleh sekolah.
d. Banyaknya lembaga pendidikan yang menyebar pengumuman penerimaan murid baru, dengan berbagai keunggulan yang menjanjikan, bahkan seolah menjamin lulusan lembaga tersebut memiliki kemampuan sesuai keunggulan yang dijanjikan.
HAKIKAT PENDIDIKAN:
Perlu diketahui bahwa tanggung jawab pendidikan merupakan amanah yang Allah berikan kepada setiap orangtua dan tidak dapat dapat didelegasikan kepada siapapun(1). Sebab kelak di akhirat yang ditanya di hadapan Allah ta’ala tentang pendidikan anak bukanlah lembaganya, sekolahnya, atau gurunya, tetapi yang ditanya adalah orangtuanya(1). Dan pertanggungjawaban tentang pendidikan anak lebih dahulu ditanyakan sebelum seorang anak ditanya tentang baktinya kepada kedua orangtuanya (3).
Oleh karena itu seharusnya orangtua tetap bersemangat untuk mengemban amanah mulia ini, dengan tidak mengurangi dan melepaskan tanggung jawab dalam mendidik anaknya, walaupun anaknya disekolahkan (dititipkan) pada sebuah lembaga pendidikan.
Dan hendaknya orangtua percaya diri bahwa setiap dirinya pasti mampu mendidik anaknya sendiri, karena setiap Allah memberikan amanah kepada hamba-Nya, pasti Allah memberikan bekal kemampuan untuk mengemban amanah tersebut, termasuk juga kemampuan dalam merencanakan kurikulumnya. Sejatinya kurikulum pendidikan anak sederhana dan mudah, disisi lain orangtualah yang paling tahu tentang kondisi dan karakter anaknya. Maka penyusun kurikulum pendidikan anak yang terbaik adalah orangtuanya.
Sejatinya mendidik itu mudah, sebagaimana Agama ini juga mudah(4). Jika merasa tidak mampu dan sulit dalam mendidik anak, maka bukanlah syariatnya yang susah, juga bukan anaknya yang bermasalah, tetapi orangtua lah yang belum mampu mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak.
Demikian juga hendaknya sekolah-sekolah dan lembaga dalam menyelenggarakan pendidikan hendaknya tidak memberikan janji-janji atau informasi yang berlebihan tentang sekolahnya. Sadar atau tidak sadar hal tersebut akan mendorong orangtua untuk memasrahkan tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolahnya, karena meyakini bahwa sekolah tersebut siap menjadikan anaknya sholih dan berkemampuan setelah kelulusannya.
Dasar dalam mendirikan sekolah itu ada dua pilihan, pilih idealisme ataukah orientasi pasar.
Jika berorientasi pada idealisme, maka sekolah tidak laku karena tidak diterima banyak orang. Jika memilih pasar maka akan banyak muridnya, namun sangat berat untuk menjadi ideal. Pilihlah orientasi idealisme walau tidak banyak murid, karena sekolah bukanlah lembaga bisnis pendidikan, tetapi lembaga sosial non komersial yang bertujuan untuk membantu orangtua dalam beribadah kepada Allah ta’ala dengan mendidik anaknya.
Wallahu ta’ala a’lam
CATATAN KAKI:
(1) Allah ta’ala berfirman,
﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ ٦﴾
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim:6)
(2) Sahabat Ibnu Umar Rodhiyallahu anhu berkata:
أَدِّبْ اِبْنَكْ فَإِنَّكَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, مَاذَا أَدَّبْتَهُ وَمَاذَا عَلَّمْتَهُ ، وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْكَ عَنْ بِرِّكَ وَطَوَاعِيَّتِهِ لَكَ
“Didiklah adab kepada anakmu, sesungguhnya pada hari kiamat kamu akan diminta pertanggungjawaban tentang adab dan ilmu yang telah kamu ajarkan kepada anakmu. Dan anakmu juga akan diminta pertanggungjawaban tentang bakti dan ketaatannya kepadamu”. (tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, Ibnul Qoyyim, 229)
(3) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
قال ابنُ القيِّم رحمه الله: (قالَ بعضُ أهلِ العلمِ: إن اللهَ سُبحانهُ يَسأَلُ الوالدَ عن ولَدِه يومَ القيامةِ قبلَ أن يَسألَ الوَلَدَ عن والدِه، فإنه كمَا أن للأَبِ على ابنهِ حقَّاً فللابنِ على أبيهِ حقٌّ
“Sebagian ahli ilmu mengatakan, sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala akan meminta pertanggungjawaban kepada orangtua tentang anaknya pada hari kiamat sebelum meminta pertanggungjawaban kepada seorang anak tentang orangtuanya. Karena orangtua memiliki hak atas anaknya sebagaimana anak memiliki hak atas orangtuanya”. (Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, hlm. 229)
(4) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit)”.(HR. Al Bukhari, 38)